Pemilik Sertifikat Sebut Pengusaha Hotel Lakukan Penyerobotan Bukan Rebutan, Kasus Tanah di Kota Lama
Pihak keluarga SDK yang tidak terima dengan perbuatan pria pengusaha tersebut juga menyebut adalah tindakan penyerobotan dan premanisme.
MONDE - FSD, seorang pria pengusaha hotel ditetapkan tersangka oleh Polrestabes Semarang buntut dugaan kasus pemalsuan surat penguasaan salah satu tanah di Kota Lama, Kota Semarang. Namun, konflik ini masih bergulir antara FSD dengan pemilik sertifikat bernama SDK.
Pihak keluarga SDK yang tidak terima dengan perbuatan pria pengusaha tersebut juga menyebut adalah tindakan penyerobotan dan premanisme.
"Tindakan Soda (FSD) adalah premanisme atau penyerobotan, karena Shita (SDK) pemilik sah dan tidak ada sengketa. Kita tidak mau dibilang itu rebutan, kalau penyerobotan iya," ungkap keluarga Shita, bernama Listiani Djoyo, Minggu (15/6/2025).
Bangunan milik SDK ini berlokasi di Jalan Kepodang dan Jalan Jalak, kawasan Kota Lama. Bangunan ini dibeli tahun 2021. Selanjutnya, segala berkas jual beli dan terbit kepemilikan sertifikat atas nama Shita tersebut melalui notaris bernama Hafidz.
"Jual belinya dengan notaris Hafidz, sudah resmi, ada AJB, ada semua buktinya, atas nama Shita. Jadi bukan rebutan," tegasnya.
"Shita pembeli yang beritikad baik dan wajib dilindungi. Legal dan sah. Soda berusaha mengkaburkan penyerobotan dengan sengketa," ujarnya.
Sementara, Osward Febby Lawalata selaku kuasa hukum Shita menjelaskan permasalahan tersebut FSD mengklaim sebagai penguasa obyek selama 30 tahun. Pengacara ini menyebut, padahal FSD hanyalah penyewa melalui badan usaha CV AJ sejak tahun 1980 dan membayar kepada NV Thio Tjoe Pian, selaku pemilik aset.
"Dia (FSD) sewa. Tapi sejak 2009 sampai sekarang dia sudah tidak bayar sewa lagi. Dia pakai itu untuk usaha burung walet. Penyewa itu namanya CV Asli Jaya, bukan FSD. Tapi yang mengklaim untuk memiliki tanah itu FSD," bebernya.
Lanjutnya mengatakan, melalui kuasa hukumnya, FSD sempat disomasi dua kali tahun 2008 dan 2018. Namun FSD tetap bersikeras mengklaim penguasaan lahan tersebut tanpa dasar hukum yang jelas.
Hingga akhirnya, NV Thio Tjoe Pian bersepakat pindah mengubah menjadi PT yang sebelumnya Badan Usaha Belanda, bertujuan menjual aset. Kemudian tahun 2018, mengajukan permohonan likuidasi ke Pengadilan Negeri Semarang.
Akhirnya Pengadilan Negeri Semarang mengeluarkan penetapan NV Thio Tjoe Pian dinyatakan bubar, dan mengangkat likuidator Ir Mustika Hardjanegara dan sama Kusuma Tjitra untuk mengurus aset.
"Nah pada saat itulah NV NV Thio Tjoe Pian mengajukan pengalihan permohonan penguasaan hak tanah negara, terus mereka mengalihkan kepada Sita, klien saya. Mereka melakukan jual beli," jelasnya.
"Dan sejak tahun 2021 sertifikat tanah tersebut itu sudah menjadi hak milik dari Shita. Sudah balik nama HGB atas nama Shita," bebernya.
Lanjutnya mengatakan, FSD diduga mengetahui informasi tersebut, tanah sudah dibeli dan dibalik atas nama Shita. Atas hal tersebut, pengacara ini juga menduga FSD timbul niat untuk menguasai tanah dengan cara mengklaim sebagai punya hak tahun 2022.
"Dengan alasan dia menguasai disitu selama 30 tahun. Jadi, tanahnya itu seluas 1000 meter persegi, mereka sewa itu 674 meter persegi. Nah mereka mengklaim 674 itu adalah haknya mereka, karena mereka menguasai disitu, dan mereka ingin memiliki itu, FSD ini," katanya.
Bahkan dengan modal surat pernyataan, FSD juga menggugat BPN Kota Semarang melalui PTUN, 17 Maret 2022. Tujuannya, guna membatalkan kepemilikan sertifikat nama pemilik baru. Namun tidak ada amar yang menyatakan batalnya jual beli maupun hak kepemilikan atas nama Shita.
"Untuk mau mengajukan sertifikat, mereka harus membuat surat penguasaan tanah. Nah FSD ini membuat surat pernyataan penguasaan fisik tanah. (Yang mengeluarkan) FSD menyatakan sendiri, terus dia ke RT, terus ke RW. Cap disini," katanya.
"Seharusnya mereka membuat pernyataan mereka bawa ke kelurahan, kelurahan tanda tangan, kelurahan keluarkan produknya, namanya surat keterangan waris penguasaan tanah," bebernya.
Atas dugaan pemalsuan surat pernyataan menguasai tanah tersebut, FSD dilaporkan ke Polrestabes Semarang. Setelah dilakukan serangkaian penyelidikan kepolisian, FSD ditetapkan tersangka atas laporan tersebut, pada 26 Maret 2025.