'Agustusan' di Tengah Pembatasan dan Keterbatasan

'Agustusan' di Tengah Pembatasan dan Keterbatasan
Foto: Ilusrasi

Bulan Agustus bagi masyarakat Indonesia dimanapun berada selalu identik dengan kemeriahan, tetapi tidak demikian halnya  dengan dua perayaan terakhir.

Wabah virus corona yang sudah 1,5 tahun telah mengubah segalanya. Tak ada kemeriahan dan gegap-gempita aneka lomba pada dua kali Agustus.

Tahun lalu dibatasi sehingga tak ada beragam lomba, apalagi tahun ini ketika angka harian kasus positif terpapar virus corona (COVID-19) sudah berlipat-lipat jumlahnya dibanding tahun lalu. Semua akhirnya mengerem aktivitas publik ketika COVID-19 seperti sedang "ngegas".

Penambahan jumlah kasus positif COVID-19 baru pada Jumat (6/8) mencapai 39.532 kasus di seluruh Indonesia. Jawa Barat dan Jawa Timur berada di urutan teratas dengan masing-masing penambahan 4.580 kasus dan 4.490 kasus.

Di posisi ketiga Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan pertambahan 3.598 kasus dan keempat Jawa Tengah yang bertambah 3.022 kasus.

Sedangkan Riau di urutan kelima penambahan jumlah kasus positif COVID-19, yakni 2.205 kasus. Provinsi-provinsi tersebut menggeser DKI Jakarta yang selama beberapa pekan terakhir kasusnya landai.

Meski landai, pembatasan masih dilakukan tampaknya untuk menjaga kelandaian itu. Pengalaman mengendalikan wabah ini di Ibu Kota telah penuh dengan dinamika; sering naik drastis, kadang turun dan pernah beberapa kali grafiknya landai.

Karena itu, mengingat dinamika grafik yang demikian rentan, maka menjaga agar grafik tetap landai sangat tidak mudah dibanding kecepatan penularan COVID-19. Kerja keras menjaga kelandaian adalah tantangan yang sedang dihadapi di DKI Jakarta.
 
Pengibaran bendera merah putih dalam rangka peringatan HUT ke-76 Kemerdekaan RI di Balai Kota Surabaya, Minggu (1/8/2021). (FOTO ANTARA/HO-Humas Pemkot Surabaya)


Bertambah
Dengan pertambahan 39.532 kasus baru, jumlah korban virus corona di Indonesia sejak 2 Maret 2021 telah menyentuh angka 3.607.863. Sebanyak 507.375 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit maupun isolasi mandiri.

Wabah ini telah menelan 104.010 korban jiwa warga NKRI. Namun harus diingat pula meski pasien baru bertambah, korban yang sembuh juga terus bertambah setiap hari.

Bahkan dari 3.607.863 korban terpapar, sebanyak 2.996.478 orang telah sembuh. Artinya korban memang banyak dan terus bertambah, tetapi pasien yang sembuh juga banyak dan terus bertambah setiap hari.

Namun tingginya angka kesembuhan, jangan sampai membuat terlena, apalagi menyepelekan wabah ini. Disamping kesembuhan, korban meninggal juga bertambah setiap hari dan hal itu membuktikan betapa berisikonya bila terpapar wabah ini.

Dalam konteks angka pertambahan kasus setiap hari itulah peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI berlangsung. Peringatan ini harus ada sebagai wujud cinta Tanah Air tetapi juga teramat sempit dimensi ruang dan waktu untuk melaksanakannya.

"Agustusan", demikian sebutan dari tak sedikit warga dalam memeriahkan agenda tahunan itu. Tak sedikit pula warga yang menyebut "tujuh belasan" atau "17-an".

Apapun sebutannya, muara yang dimaksud adalah peringatan HUT Kemerdekaan setiap 17 Agustus. Di masa normal (sebelum wabah) bisa dibilang tak ada "Agustusan" tanpa kemeriahan lomba makan kerupuk, tangkap belut, balap karung hingga panjat pinang.

Beraneka kemeriahan selalu menandai peringatan HUT Kemerdekaan RI. Tetapi wabah telah menjadikannya sebagai kenangan dan entah kapan akan terulang lagi.

Upacara peringatannya memang tetap ada tetapi menyesuaikan situasi dan kondisi. Yakni adanya pembatasan aktivitas publik dan penerapan disiplin protokol kesehatan (prokes), meliputi jaga jarak, jauhi kerumunan dan sering cuci tangan.

Meski dengan prokes, upacara benderanya tetap bisa dilaksanakan, tetapi betapa tidak mudah untuk kegiatan yang memeriahkannya. Kemeriahan identik dengan kerumunan dan tanpa jaga jarak.

Dengan aplikasi, lomba makan kerupuk mungkin bisa dilakukan secara daring (online). Tapi tak bisa dibayangkan bagaimana panjat pinang dilakukan daring dengan jaga jarak?

Tanpa lomba
Itulah sebabnya dalam rangka menghindari terjadinya kerumunan dan keramaian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatasi kegiatan dan melarang kerumunan massa saat peringatan HUT Ke-76 Kemerdekaan RI pada 17 Agustus mendatang, meskipun kasus positif COVID-19 mulai menurun. Ini demi menjaga momentum turunnya kasus harian COVID-19.

Sama seperti hari besar sebelumnya dan HUT RI tahun lalu, peringatan 17 Agustus mendatang tidak dirayakan dengan aktivitas yang mengundang keramaian termasuk acara perlombaan yang identik dengan kerumunan.

Di era wabah, kerumunan diyakini sebagai biang keladi penularan dan penyebaran virus corona. Kerumunan adalah pilar prokes untuk menekan penularan COVID-19.

Pembatasan dan larangan telah disampaikan Gubernur Anies Baswedan. Keputusan ini merupakan upaya Pemprov DKI Jakarta yang masih menjaga kurva landai kasus aktif di Ibu Kota meskipun trennya sudah jauh menurun dibandingkan dua pekan lalu.

Penurunan jumlah kasus COVID-19 merupakan hasil dari upaya pemerintah dari unsur Pemprov DKI Jakarta, TNI, Polri serta masyarakat yang mendukung Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan PPKM Level 4 selama Juli lalu.

Ini bukti konkret bahwa pembatasan mobilitas yang dilakukan terbukti efektif. Karena itu momentum menjaga agar kurva tetap landai diteruskan.

"Saya mengajak semua untuk jangan kendor. Ini belum selesai," ujar Anies.

Masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan pun diingatkan untuk tidak lengah dan tidak kendor dalam membatasi mobilitas.
 
Pedagang asongan menawarkan pernak pernik HUT RI (ANTARA/Yudi Abdullah/21)


Hampa
Situasi di tengah wabah dan larangan menyelenggarakan lomba "Agustusan" kali ini akan seperti tahun lalu. Upacaranya tetap dilaksanakan dengan prokes tapi tanpa lomba, baik sebelum maupun setelah upacara.

Maka suasananya menjadi hampa dan hambar. Juga tidak berbeda dengan hari-hari biasa, aktivitas publik berlangsung dalam pembatasan.

Tetapi dalam konteks pengendalian penularan virus corona, pembatasan gerak publik justru cara ampuh untuk menekan dan memutus rantai penyebarannya. Artinya, semakin pergerakan berlangsung tanpa batas semakin sulit menekan kasus positif COVID-19.

Kini masyarakat pun perlu semakin menyadari maksud dan makna pembatasan aktivitas di ruang-ruang publik. Bahwa ternyata diam di rumah dan mengurangi aktivitas publik (kecuali untuk urusan penting) sangat bermakna untuk pengendalian wabah.

Baca juga: Kapolri siapkan strategi capai vaksinasi massal 70 persen saat HUT RI

Namun harus diakui bahwa berkurangnya aktivitas publik juga tegak lurus pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi. Hal itu juga berpengaruh terhadap pendapatan tidak sedikit warga yang bergerak di sektor informal, sektor swasta non esensial dan non kritikal.

Pendapatan yang telah terdampak wabah COVID-19 mendorong warga untuk lebih mementingkan kebutuhan dasar rumah tangganya. Keluarga-keluarga kini tentu telah melakukan evaluasi (pengetatan) penggunaan pendapatannya yang sudah terdampak wabah itu.

Wabah ini juga mengharuskan setiap warga dan keluarga betul-betul bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Pun untuk kebutuhan, tentu akan lebih diprioritaskan untuk yang paling mendesak.

Meski demikian, diyakini cinta dan bangga warga kepada negara tidak tergoyahkan di tengah situasi sulit akibat COVID-19.

Tanpa lomba, tetaplah: Merdeka...! (Sri Muryono/ANTARA)