Menjaga Daya Beli Menghadapi Ancaman Resesi 2023

Menjaga Daya Beli Menghadapi Ancaman Resesi 2023
Foto: Ilustrasi

Oleh Achmad Zaenal

Perekonomian global pada tahun 2023 diperkirakan bakal suram, bahkan Bank Dunia menyebutkan ada risiko terjadinya resesi. 

Negara-negara pemimpin ekonomi dunia diperkirakan bakal melanjutkan menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi yang terus merambat pada tahun ini.

Pandemi COVID-19 ditambah invasi Rusia ke Ukraina yang belum ada tanda-tanda mereda, kian memperparah rantai pasok global, termasuk komoditas utama energi dan pangan, sehingga mendongkrak harga. Tanpa ada pengendalian, inflasi bakal melejit sehingga meruntuhkan daya beli.

Indonesia pada kuartal II 2022 memang mencatat pertumbuhan mengesankan, 5,4 persen, namun diikuti dengan inflasi 4,84 persen pada Januari-September 2022. Bahkan, bila menggunakan hitungan year on year (yoy), Badan Pusat Statistik mencatat bahwa inflasi pada Oktober 2022 menyentuh 5,71 persen.

Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen tersebut merupakan pertanda riil kian kencangnya roda perekonomian setelah 2 tahun didera pagebluk COVID-19 yang memperlambat laju hampir semua sektor.

Secara akumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 (Januari-Desember) diperkirakan tetap di atas 5 persen. Terkendalinya penyebaran virus Corona dibarengi dengan pelonggaran aktivitas, memacu mobilitas masyarakat di luar rumah makin meningkat.

Sektor riil bergerak kian kencang seiring dengan beroperasinya secara penuh industri, pabrik, toko, hingga perkantoran. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat ini nyaris pulih seperti sebelum pandemi. Kepadatan arus lalu lintas, keramaian pusat perbelanjaan, serta keriuhan di tempat rekreasi pada akhir pekan, menjadi indikator nyata menggeliatnya perekonomian.

Bank Indonesia melaporkan bahwa besaran kredit perbankan yang disalurkan pada Juni 2022 mencapai Rp6,17 ribu triliun (kuadriliun) atau tumbuh 10,66 persen (yoy) dari setahun sebelumnya.

Dengan catatan apik tersebut, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan perekonomian Indonesia pada tahun 2022 bakal tumbuh 5,3 persen. Sementara itu, pada 2023 negeri berpenduduk sekitar 270 juta jiwa ini diprediksi membukukan pertumbuhan 5 persen sepanjang kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal domestik yang diambil pemerintah memang jitu untuk menjinakkan ancaman resesi global.

Data BPS pada Februari 2022 menunjukkan dari 135,61 juta pekerja, sebagian besar terserap di sektor pertanian, perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, serta konstruksi. Sementara itu, per Juni 2022 tercatat ada 19,5 juta UMKM, yang 30,4 persen di antaranya telah bermain pada platform e-commerce.

Melihat besarnya jumlah UMKM tersebut, tidak mengherankan bila UMKM disebut memegang peran kunci dalam perekonomian Indonesia. Dengan asumsi setiap UMKM menyerap empat tenaga kerja, misalnya, berarti sekitar 100 juta tenaga kerja telah menjadi “lautan gerigi” yang ikut menggerakkan perekonomian di negeri ini.

Sejumlah studi mengungkapkan bahwa selain mampu menyerap tenaga kerja sangat besar, UMKM juga jauh lebih tangguh ketika dihadapkan situasi krisis. Bisnis skala mikro dan kecil terbukti lebih liat dan lentur dalam menghadapi resesi atau krisis ekonomi, seperti terjadi pada tahun 1998, 2008, 2015, dan 2020 ketika tujuh miliar penduduk Bumi ini dibekap pagebluk Corona.

Ketika diterapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) ketat pada 2020-2021, dengan sigap mereka beradaptasi ke dunia digital. Segala platform e-commerce dan media sosial mereka manfaatkan, baik untuk mendapatkan bahan baku, belajar berbisnis, dan tentu untuk memasarkan produk.

Stimulus pemerintah, misalnya, pengucuran kredit berbunga murah (KUR) hingga relaksasi kredit selama pandemi, memperkuat benteng pertahanan UMKM selama menghadapi situasi sulit tersebut. Keberanian pemerintah mengalokasikan subsidi energi Rp502 triliun — sebelum penaikan harga BBM pada 3 September lalu — secara makro mampu menjaga daya beli masyarakat sehingga mampu melumasi bisnis UMKM.

Optimistis tumbuh

Memang, pada tahun 2020 terjadi kontraksi (pertumbuhan minus 2,07 persen), namun penurunannya tidak sedalam seperti dialami banyak negara. Setahun kemudian,  2021, Indonesia mencatat pertumbuhan 3,69 persen dan terus menanjak hingga di atas 5 persen pada kuartal II 2022.

Berbekal pengalaman melewati beberapa kali krisis, Indonesia diyakini tetap mampu menghadapi ancaman krisis pada tahun 2023 seperti diramalkan sejumlah kalangan.

Dana Moneter Internasional (IMF) berdasarkan laporan per 21 Oktober 2022 menyebutkan Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia senilai 4,02 triliun dolar AS dengan pemodelan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP).

PPP merupakan perbandingan kemampuan mata uang negara bersangkutan terhadap daya beli barang dan jasa. Harga sepotong ayam goreng di Tokyo, misalnya, Rp70 ribu, sedangkan di Indonesia hanya Rp20 ribu. Jadi, uang Rp20 ribu di Indonesia jauh lebih digdaya dibanding di Tokyo.

Meski demikian, Kementerian Keuangan RI mengingatkan tetap harus berhati-hati. Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan beberapa strategi kebijakan yang preventif dan tetap waspada dalam mengambil setiap kebijakan moneter dan fiskal domestik guna mengantisipasi jatuhnya perekonomian Indonesia akibat adanya resesi global ini.

Pemerintah tetap harus menjaga daya beli masyarakat karena konsumsi rumah tangga memiliki andil dominan, yakni 51,47 persen, terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2022.

Agar daya beli tetap terjaga maka pemerintah harus mengendalikan inflasi. Arahan Presiden Joko Widodo agar pemda-pemda mengalokasikan anggaran untuk subsidi biaya transportasi komoditas pangan dan operasi pasar, seharusnya bisa diterapkan karena anggaran yang dibutuhkan tidak besar.

Misalnya, Lampung bisa mendatangkan bawang merah dari Brebes, Jawa Tengah, yang biaya angkutnya disubsidi oleh pemda. Dengan demikian, harga bawang di Lampung tidak terjadi lonjakan. Daerah lain juga bisa menerapkan skema serupa dengan komoditas berbeda.

Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) harus mampu menjalankan tugasnya. Setidaknya ada tiga tugas yang harus dijalankan, yakni pemda menyediakan anggaran untuk pengendalian harga. Selain bisa mengalokasikan anggaran untuk subsidi transportasi komoditas strategis, anggaran tersebut juga disiapkan untuk operasi pasar ketika harga sembako mulai naik.

Kedua, memastikan transportasi di daerah dan antardaerah lancar guna menjamin distribusi barang dan orang. Ketika terjadi bencana alam yang disertai gangguan distribusi, pemda perlu mengalokasikan anggaran untuk subsidi biaya transportasi yang naik akibat jalan tergenang banjir atau jembatan terputus.

Ketiga, unsur penopang kerja TPID, yakni pemda, kepolisian, kejaksaan, hingga Bank Indonesia di daerah harus secara rutin melakukan pemeriksaan pasokan bahan pokok di gudang penyimpanan atau pasar-pasar.

Operasi pasar yang dilakukan secara terukur dengan sasaran yang tepat selama ini mampu mengendalikan kenaikan harga bahan pokok. Pengendalian harga minyak goreng merupakan contoh sukses atas blending kebijakan di level hulu dengan masifnya operasi pasar.

Kebijakan sinergis yang dilakukan serentak untuk menjaga daya hidup UMKM hingga pengendalian inflasi yang terukur bakal menjadi perisai Indonesia ketika menghadapi ancaman resesi pada tahun 2023.

Lebih dari itu --karena kontribusi pertumbuhan ekonomi mayoritas disokong konsumsi domestik-- Indonesia pada tahun depan optimistis mampu membukukan pertumbuhan sedikitnya 5 persen seperti diramalkan sejumlah lembaga riset ekonomi. Angka pertumbuhan yang tinggi bila resesi benar melanda dunia pada tahun depan.(ANTARA)