Selamat Jalan Sahabat ...
Steven Setiabudi Musa melekat dengan Suara Pembaruan (SP) di Cawang, Jakarta Timur.
MONDE - TAK ada jarak antara kita. Selalu bersama. Dari Jatinegara ke Senayan. Sama-sama memburu berita. Mengkritisi dunia olahraga.
Steven Setiabudi Musa melekat dengan Suara Pembaruan (SP) di Cawang, Jakarta Timur. Saya freelance di Tribun Olahraga, 'anaknya SP' . Orang bilang, kami lengket seperti perangko.
Saya masih ingat ketika kami diajak liputan klub ASPAC ke Singapura pada 1994. Kim Hong- bos Aspac mengontak saya. "Sur kenapa Steven kritik gue terus. Kan dia sohib kita. Tolong bilangin tulisannya jangan keras-keras donk," ujar Kim Hong.
Dalam hati, saya tertawa. Naluri wartawan berbeda dengan pertemanan. Steven selalu menulis apa adanya. Dia wartawan yang berani. Saya tak kuasa membentengi pikiran jurnalistiknya.
Mpek begitu sapaan Steven, pribadi yang baik. Dia sahabat yang menyenangkan. Tak hitung hitungan. Royal terhadap teman.
Banyak perjalanan yang tak terlupakan. Kebetulan kami sama-sama berguru di Lenteng Agung 32. Kampus Tercinta. Mpek satu angkatan di atas saya.
"Kalian harus berangkat ke Surabaya. Harus jadi saksi timnas bola basket kita," pinta Ary Sudarsono untuk meliput Southeast Asia Basketball Association (SEABA) 1996.
Saya dan Mpek tak diundang Perbasi. Mungkin karena kami acap kritis terhadap perbasketan nasional. Tapi, Ary Sudarsono- sang legenda- melihat kami berbeda. Dia merogoh kocek pribadi untuk menerbangkan kami ke Surabaya.
Di Busan, Korea Selatan, kami juga bersama. Meliput Asian Games 2002. Tapi, saya sudah berganti bendera: Taboid GO. Seusai liputan, kami menikmati malam yang indah.
"Sebulan lagi kita disini bisa kecantol cewe Korea," canda Mpek memecah heningnya malam.
Persahabatan kami tak pernah putus. Meski terpisah dengan jarak. Mpek menyeberang ke panggung politik. Dia meraih kursi DPRD Jakarta lewat PDIP. Bahkan dua periode di Kebon Sirih.
Saya masih warawiri di Senayan. Saya tak pernah mengontaknya. Saya hanya berpesan lewat seorang teman: Semoga menjadi Dewan yang amanah. Sukses kawan!
Matras gulat akhirnya mempertemukan kami kembali. Kebetulan Mpek sebagai Ketua Persatuan Gulat Indonesia (PGI) DKI Jakarta. Juga masih menjadi anggota dewan. "Sur tolong bantu acara gulat gue ya," ujar Steven lewat telepon.
Kami kembali bertemu setelah sekian lama. Lembaran usang kami kupas di sebuah sudut di Jakarta. Cerita lucu-lucuan. Penuh canda dan tawa lepas.
Senin (9/10) sebuah kabar duka datang. Dari grup WA. "Steven Setiabudi Musa meninggal dunia".
Mulut ini seperti terkunci. Hanya bisa meratapi. Sedih mendengar berita ini. Padahal tiga hari sebelumnya, saya dan teman-teman di Senayan membicarakannya.
"Steven sudah sehat. Sabtu ini kita mau ketemuan di rumahnya," kata wartawan senior Tubagus Adhi.
Tapi, pertemuan itu batal. Entah kenapa. Tuhan punya rencana berbeda. Steven dipanggil Sang Pencipta. Hidup ini terasa singkat untuknya. Tak ada kata yang bisa saya ucapkan. Kecuali mendoakan yang terbaik atas kepergiannya.
Selamat jalan sahabat. Tidurlah yang nyenyak di sana, Mpek...*