Tragedi Kanjuruhan dan Rivalitas Tanpa Batas

... tidak ada sepak bola yang seharga nyawa manusia.

Tragedi Kanjuruhan dan Rivalitas Tanpa Batas
Sejumlah orang mencari anggota keluarganya dengan memeriksa foto-foto korban kerusuhan Stadion Kanjuruhan yang disediakan oleh relawan untuk membantu mengidentifikasi kerabat mereka di Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Foto: Ist

Oleh Didik Kusbiantoro

Peristiwa tragis di Stadion Kanjuruhan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, menyisakan duka mendalam bagi banyak orang, salah satunya M Alfiansyah.

Bocah 11 tahun ini harus menjadi yatim piatu karena ayahnya M Yulianto (40) dan ibunya Devi Ratna Sari (30) turut menjadi korban dalam tragedi paling buruk sepanjang sejarah sepak bola Indonesia.

Yulianto dan Devi Ratna Sari adalah dua dari 125 orang yang meninggal dunia (data versi polisi) saat berdesak-desakan keluar Stadion Kanjuruhan selepas pertandingan Liga 1 antara tuan rumah Arema FC versus Persebaya Surabaya, yang dimenangi tim tamu dengan skor 2-3.

Alfiansyah saat itu sebenarnya digandeng orang tuanya untuk keluar dari stadion melalui Pintu 14. Dia sempat terjatuh dan berhasil berdiri untuk kemudian keluar dari kerumunan. Akan tetapi, bocah kelas II SD Negeri Bareng 2 Kota Malang itu justru terpisah dari orang tuanya.

Belakangan baru diketahui jika kedua orang tua Alfiansyah terjebak dalam desak-desakan dengan suporter lainnya di pintu keluar dan meninggal dunia, diduga karena terinjak dan kehabisan oksigen.

Alfiansyah mungkin tidak menyangka jika kehadirannya bersama kedua orang tuanya ke Stadion Kanjuruhan untuk bersenang-senang menyaksikan big match Arema FC versus Persebaya pada malam itu berakhir memilukan.

Bukan hanya Alfiansyah yang merasakan duka mendalam. Akibat peristiwa di Stadion Kanjuruhan itu, ada banyak ibu yang kehilangan anak-anaknya, istri kehilangan suaminya, suami kehilangan istrinya, dan mereka yang kehilangan orang-orang terdekat dan tercintanya.

Tragedi Kanjuruhan telah menyita perhatian dunia internasional mengingat jumlah korbannya yang mencapai lebih dari seratus jiwa, terbanyak kedua di dunia dalam peristiwa yang pernah terjadi pada kerusuhan di stadion sepak bola.

Dikutip dari laman footballgroundguide.com, tragedi dengan korban nyawa terbanyak pertama terjadi di Stadion Nasional (Estadio Nacional), Lima, Peru, saat laga Peru vs Argentina pada 1964. Tercatat 326 orang suporter tewas.

Pemerintah bersama aparat kepolisian, PSSI, Komnas HAM, dan lembaga lain masih melakukan investigasi untuk mencari penyebab terjadinya peristiwa tragis itu.

Masalahnya, kasus-kasus kerusuhan suporter sepak bola di Tanah Air sudah terlalu sering terjadi. Korban jiwa dan luka-luka juga tidak sedikit jumlahnya, tetapi selama itu pula tidak pernah ada solusi jitu untuk menghentikannya.

Langkah pencegahan hanya berlangsung sesaat, sesudah itu terjadi lagi kerusuhan dan jatuh lagi korban. Slogan "Tidak Ada Sepak Bola Seharga Nyawa" hanya sekadar ucapan, tapi tidak terimplementasi secara nyata dalam tindak dan perbuatan di lapangan atau jalanan.

Rivalitas suporter

Rivalitas klub yang diikuti dengan suporternya memang sudah lama terjadi dalam sejarah kompetisi sepak bola di Tanah Air. Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta, PSM Makassar, PSIS Semarang, Arema FC, dan Persis Solo adalah beberapa klub yang memiliki basis pendukung fanatik dan militan.

Persebaya adalah salah satu contoh klub yang cukup sering menerima sanksi dari Komisi Disiplin PSSI karena suporternya berulah. Mulai dari sanksi denda dalam jumlah besar, laga tanpa penonton, hingga terusir dari kandangnya di Surabaya. Beberapa klub lain juga pernah mengalami hal serupa.

Hukuman beberapa laga tanpa penonton dan harus bertanding di luar kandang sebenarnya sudah cukup berat bagi sebuah klub karena harus mengeluarkan biaya besar, sementara pemasukan nihil. Suporter juga rugi karena tidak bisa menyaksikan langsung tim kesayangannya di stadion.

Sementara dari sisi pemain, gairah dan motivasi mereka pasti menurun karena tidak ada sorak-sorai dan gemuruh suara suporter yang menyemangati mereka selama pertandingan. Bahkan, ada sebagian pemain yang menyebut laga usiran tanpa penonton bak latihan biasa. Hambar dan tidak gereget.

Toh hukuman-hukuman yang sudah pernah dijatuhkan PSSI kepada klub sejauh ini tidak pernah memberikan efek jera bagi suporter dan klub juga seperti setengah hati berbenah. Apalagi kalau kemudian PSSI melalui Komisi Banding memberikan keringanan hukuman kepada klub dengan berbagai alasan. Salah satunya kasihan dan janji klub untuk membenahi suporternya.

Kasus kerusuhan di Stadion Kanjuruhan yang menimbulkan korban jiwa lebih dari seratus orang suporter Arema semestinya menjadi titik balik bagi pemerintah, PSSI, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk organisasi suporter, untuk bersama-sama merumuskan suatu sistem yang baik dalam pengelolaan olahraga, khususnya sepak bola.

Memang sudah ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 yang merupakan pembaruan dari UU Nomor 5 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. PSSI juga memiliki aturan sendiri yang mengacu pada statuta Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan juga dipakai anggotanya di seluruh dunia.

Seluruh elemen yang berkepentingan dalam dunia sepak bola sudah seharusnya duduk bersama, merumuskan berbagai masukan dan aspirasi untuk mencari solusi terbaik bagi masa depan sepak bola Indonesia. Sayang jika potensi besar sepak bola nasional harus rusak gara-gara kasus kerusuhan suporter yang tak kunjung berhenti.

Sepak bola itu olahraga yang merakyat dan disukai semua kalangan, dari anak-anak hingga orang tua, laki-laki dan juga perempuan. Sayang jika gara-gara kasus kerusuhan suporter di stadion yang berujung kematian, mereka tidak mau lagi datang ke stadion.

Cukuplah peristiwa meninggalnya seratusan orang suporter Arema, termasuk dua anggota polisi dalam tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 itu benar-benar menjadi kasus terakhir dalam pertandingan sepak bola yang merenggut korban jiwa. Karena memang tidak ada sepak bola yang seharga nyawa manusia.(ANTARA)