Warga Singapura Diminta Siapkan Mental Hadapi Resesi Besar-besaran
Wong mengingatkan bahwa krisis ini tidak akan berlalu dengan cepat, mirip pandemi Covid-19.
MONDE--Perlambatan pertumbuhan ekonomi saat ini sedang dirasakan di Singapura menyusul ketegangan global pascapemberlakuan tarif Amerika Serikat (AS) belakangan ini, dengan potensi resesi besar-besaran tidak dapat dikesampingkan.
Hal itu dikatakan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lawrence Wong, dalam aksi Hari Buruh Internasional atau May Day, Kamis (1/5/2025).
"Sejauh ini, Singapura belum menjadi sorotan, tetapi bisa dipastikan kita juga akan mendapat sorotan yang lebih besar," kata Wong.
Pada April lalu, Presiden AS Donald Trump memperkenalkan "tarif dasar minimum" sebesar 10 persen untuk semua impor, termasuk yang berasal dari Singapura.
Dampaknya terhadap bisnis "nyata dan terus berkembang," kata Wong, seraya menyoroti pembatalan atau penundaan pesanan, penundaan investasi, dan pengurangan operasi.
"Amerika sudah merasakannya. Dampak ini akan dirasakan di seluruh dunia, dan akan melanda Singapura juga," Wong menambahkan.
Wong memperingatkan bahwa krisis ini "tidak akan berlalu dengan cepat," mirip dengan pandemi Covid-19, yang diyakini beberapa pihak akan selesai dalam beberapa bulan, tetapi, malah menimbulkan gelombang wabah yang berulang-ulang.
"Mengenai berapa lama, tidak ada yang tahu. Namun, ini tidak akan menjadi persoalan yang selesai dalam setahun. Jadi, kita harus siap secara mental untuk jangka panjang, untuk menghadapi perjalanan yang tidak mulus di depan, dan melakukan semua yang kita bisa, demi memperkuat posisi Singapura karena ini adalah tantangan paling besar dari semuanya," kata Wong.
Ketidakpastian tersebut menambah tantangan yang sedang dihadapi oleh warga Singapura, seperti tekanan biaya hidup, yang telah dimulai lebih awal lantaran inflasi global. Meskipun inflasi telah mereda, perkembangan global baru-baru ini "berpotensi menyebabkan gangguan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan guncangan harga lebih lanjut," kata sang PM.(Xinhua)