Buya Syafii, Sang Perekat Keutuhan Bangsa

Buya Syafii, Sang Perekat Keutuhan Bangsa
Pendiri Maarif Institute yang juga Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif. Foto: Ist

Oleh Luqman Hakim

Meski Shalat Jumat telah usai, ribuan orang belum beranjak dari Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Mereka menjejali ruang utama, serambi, bahkan meluber sampai halaman depan masjid.

Tidak semua mengenakan peci, sarung, atau baju koko. Tampak membaur di antara mereka, para Rohaniawan Kristen, Katolik, dan biksu lengkap dengan atribut masing-masing.

Mereka memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan penghormatan terakhir kepada sosok yang amat mereka cintai, yakni Cendekiawan Muslim yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah H. Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii yang jenazahnya disemayamkan di masjid milik Keraton Yogyakarta itu.

Pendiri Maarif Institute itu wafat pada Jumat (27/5/2022), pukul 10.15 WIB, di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Gamping, Kabupaten Sleman.

Meski pernah menakhodai PP Muhammadiyah mulai tahun 1998 sampai 2005, Buya Syafii tampaknya bukan sekadar terlahir sebagai tokoh junjungan salah satu organisasi Islam terbesar di Tanah Air itu.

Melalui pemikiran dan konsistensi dalam mengampanyekan perdamaian, serta sikap inklusif dalam beragama selama hidupnya, Cendekiawan Muslim itu telah mewujud sebagai jangkar perekat keutuhan umat dan masyarakat di Indonesia.

“Beliau selalu berpesan kepada kami agar menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat,” ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam pidato penghormatan terakhir untuk almarhum.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Najib Azca menyebut mendiang Buya Syafii sebagai satu dari sedikit tokoh Muslim di Indonesia yang konsisten mengampanyekan nilai-nilai perdamaian hingga akhir hayat.

Menurutnya, tokoh bersahaja kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, pada 31 Maret 1935 itu merupakan intelektual yang sangat kuat memegang konsep toleransi dan perdamaian antaragama.

“Beliau saya kira tidak peduli dengan cemooh dan kadang-kadang beliau kan di-‘bully’ habis-habisan oleh berbagai pihak untuk sikap pilihan berdasarkan prinsip kokoh yang dimiliki,” ujar Najib yang juga Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Dalam berbagai kesempatan, mendiang Buya Syafii selalu mengingatkan bahwa agama Islam diturunkan Allah SWT ke bumi melalui Nabi Muhammad SAW untuk membangun peradaban di muka bumi sebagai rahmat untuk seluruh alam. Bukan sekadar untuk seluruh umat manusia, tetapi juga binatang, alam, dan tumbuhan.

Pemikiran Syafii Maarif yang disarikan dalam buku yang dirilis Maarif Institute berjudul ‘Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Syafii Maarif’ (2015), antara lain disebutkan bahwa berbagai kasus kekerasan antaragama dan internal agama membutuhkan perhatian serius semua pihak agar bangsa ini tidak terpuruk karena pertikaian berdasarkan atau atas nama agama.

Dengan memegang teguh keagamaan yang mendamaikan, maka dialog dan kerja sama antaragama dalam membangun bangsa merupakan aktivitas yang tidak bisa dilupakan.

Menurut Najib Azca, Buya Syafii merupakan tokoh yang secara tulus menggunakan daya intelektualnya untuk memikirkan masa depan dan peradaban bangsa dengan mengedepankan kepentingan jangka panjang.

Sikap demikian itulah yang menjadikan mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) itu menjadi sosok yang amat dicintai berbagai kalangan.

“Kita bisa melihat betapa Pak Syafii dapat diterima amat sangat luas oleh semua kelompok, baik itu Muslim maupun non-Muslim. Semua komunitas agama saya kira memberikan hormat yang amat sangat tinggi kepada beliau,” kata dia.

Jaga hubungan antaragama

Di sela melayat, Wakil Uskup Urusan Fikep Kategorial Keuskupan Agung Semarang Yohanes Dwi Harsanto menceritakan kenangan yang tak pernah ia lupakan dengan Buya Syafii.

Kenangan itu adalah kala peristiwa penyerangan kegiatan ibadah di Gereja Santa Lidwina Bedog Kabupaten Sleman pada medio 2018.

Almarhum saat itu langsung mengendarai sepeda dari kediamannya dan mengecek kondisi gereja. “Ketika gereja kami Santa Lidwina Bedog diserang teroris beliau langsung naik sepeda menuju gereja. Beliau malah mendahului saya,” tutur Yohanes.

Selain datang lebih awal, Buya Syafii kemudian memberikan pernyataan kepada awak media dengan mengutuk penyerangan kegiatan ibadah itu.

Bagi Yohanes, sikap dan komitmen almarhum untuk menjaga hubungan antaragama di Indonesia tetap damai tidak sekadar diutarakan melalui tulisan maupun pidato, melainkan melalui tangan, kaki, dan badan.

“Beliau tokoh Muhammadiyah dan antaragama. Saya merasa beliau bapak penuh perdamaian. Bapak damai, mewartakan damai. Yang berdamai berdasarkan keadilan dan martabat manusia,” ujar dia.

Tak jauh dari serambi Masjid Gedhe Kauman, sejumlah biksu dengan mengenakan jubah kuning tampak berdiri khidmat. Kepada awak media mereka menyampaikan rasa kehilangan kepada sosok mendiang yang mereka anggap sebagai salah satu panutan.

“Kami merasa sangat kehilangan tokoh bangsa yang selama ini kami teladani,” ujar Sekretaris Wilayah DIY Sangga Agung Indonesia Biksu Badra Paluh Tera.

Bagi Biksu Badra, Buya Syafii merupakan tokoh Muslim yang dalam dakwahnya selalu mengangkat nilai nasionalisme dengan merangkul dan mengayomi semua meski berbeda suku, ras, dan agama.

Dengan kiprah tak ternilai yang selama ini ditorehkan almarhum untuk keutuhan Bangsa Indonesia, Presiden Joko Widodo yang hadir di Masjid Gedhe Kauman menyebut mendiang Buya Syafii sebagai “Guru Bangsa”.

“Beliau adalah kader terbaik Muhammadiyah yang selalu menyuarakan tentang keberagaman dan menyuarakan tentang toleransi antarumat beragama dan belau selalu menyampaikan pentingnya Pancasila sebagai perekat bangsa,” ujar Jokowi menjelang pemberangkatan jenazah Buya Syafii menuju peristirahatan terakhir di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah di Dusun Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo.*/ant