Ketua PWI Depok: Edy Mulyadi Tak Pantas Disebut Wartawan Senior

Ketua PWI Depok: Edy Mulyadi Tak Pantas Disebut Wartawan Senior
Ketua PWI Depok, Rusdy Nurdiansyah. Foto: Ist

MONDE--Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menjadwalkan pemanggilan kedua Edy Mulyadi sebagai saksi dalam perkara ujaran kebencian, terkait narasi 'Tempat jin buang anak'. 

Pada pemanggilan kedua hari ini, Senin (31/1/2022), penyidik menyertakan surat perintah membawa atau panggil paksa apabila Edy Mulyadi tidak memenuhi panggilan yang kedua kalinya.

"Tim penyidik menerbitkan surat panggilan kedua, disertai surat perintah membawa untuk hadir pada tanggal 31 Januari 2022 hari Senin, jam 10," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan.

Menurut dia, surat perintah untuk membawa bukan upaya paksa ataupun upaya penangkapan. Namun, upaya membawa apabila Edy Mulyadi tidak memenuhi panggilan kedua.

Beberapa hari lalu Kuasa hukum Edy Mulyadi melontarkan pandangannya bahwa kasus kliennya dapat diselesaikan melalui Undang-Undang Pers (UU Pers). Alasannya karena Edy Mulyadi merupakan wartawan senior.

Pernyataan Kuasa hukum Edy Mulyadi tersebut dinilai mengada-ngada oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah. 

“Pak Edy, Anda itu jangan ngaku-ngaku sebagai wartawan senior. Ada ukurannya seseorang itu sebagai wartawan senior atau bukan. Minimal 25 tahun mengabdi di dunia jurnalistik tanpa henti,” ujar Rusdy di Kantor PWI Depok, Jalan Melati Raya, Kelurahan Depok Jaya, Pancoran Mas, Minggu (30/1/2022).

Menurut peraih Press Card Number One PWI yang akan diserahkan Presiden Jokowi pada Hari Pers Nasional (HPN) 2022 di Kendari, Sulawesi Tenggara ini, seorang wartawan senior itu menunjukan kinerja profesional dan independen. 

Dia menambahkan, sosoknya juga harus berintegritas, aktif dalam komunitas dan organisasi kewartawanan terutama PWI serta memiliki jejaring yang luas, selalu menjaga hubungan baik dengan nara sumber dan masyarakat serta diakui masyarakat pers, patut menjadi teladan dengan kinerja profesional dan prestasi yang dicapai.

“Seorang wartawan senior itu, selama karirnya pernah bertugas di berbagai tempat, baik lokal, nasional dan internasional serta di wilayah bencana alam, konflik maupun perang. Pernah meliput di berbagai bidang atau desk, politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya, olahraga, kriminal, perkotaan. Selain itu juga menghasilkan karya jurnalistik yang berprestasi di tingkat daerah, tingkat nasional, mungkin terlebih lagi di internasional,” papar Rusdy.

Bekas Wartawan

Kemudian, lanjut Rusdy, seorang wartawan senior secara konsisten berkontribusi membela kemerdekaan pers lewat berbagai gagasan karya dan kiprahnya memajukan SDM pers Indonesia melalui keterlibatan pribadi, organisasi, lembaga ataupun dalam melakukan pelatihan dan taat UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

“Ada aturan dan etikanya menggeluti profesi jurnalistik. Ada kaidah bahasa yang baik dan benar yang mencerdaskan, tidak boleh mengandung unsur SARA, rasis, pornografi, apalagi provokatif, adu domba dan ujaran kebencian. Jadi, saya pikir Pak Edy itu bukan wartawan senior dan bahkan otomatis ‘gugur’ mengaku sebagai wartawan. Bukan juga mantan wartawan, mungkin lebih tepat, ia ‘bekas’ wartawan,” ucap Rusdy.

Klaim Edy Mulyadi sebagai wartawan senior dianggap Rusdy telah menciderai profesi wartawan yang memiliki marwah dan ruh mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara serta sebagai pilar keempat demokrasi selalu mengedepankan kebebasan pers yang bertanggungjawab.

“Mau ketawa takut kualat. Anda ingin berlindung di UU Pers, padahal jerat hukum yang menimpa Anda bukanlah produk pers dan karya jurnalistik. Memalukan, Anda mengaku-ngaku wartawan tapi tidak paham UU Pers, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku wartawan. Jangan rusak citra wartawan dengan prilaku Anda,” tegas Rusdy yang mengawali karir sebagai wartawan sejak 1991 dan pada 1993 bergabung di media Republika hingga saat ini.

Dalam keterangan di profilnya, Edy bekerja dan tergabung sebagai wartawan dalam FNN (Forum News Network). FNN merupakan portal berita milik PT Forum Adil Mandiri yang sebelumnya dikenal dengan nama Majalah Keadilan. Awal karier Edy sebagai wartawan dimulai di Harian Neraca dan terdaftar di PWI sejak 22 Mei 1995.

Edy juga pernah menulis di kolom Kompasiana sejak 2014. Edy menulis di kolom keterangan profilnya sebagai seorang jurnalis, media trainer, dan konsultan/praktisi PR. Melalui tulisan di Kompasiana, Edy sering melontarkan kritikan atas kinerja Presiden Jokowi. Pria kelahiran Jakarta, 8 Januari 1966 ini berpindah karir dari wartawan ke dunia politik, ikut pemilihan anggota legislatif (pileg) dari PKS pada 2019.

“Pak Edy katanya pernah terdaftar sebagai anggota PWI pada 1995, kalau tidak diperpanjang status keanggotaannya, berarti bukan anggota PWI lagi. Apalagi ia pernah jadi ikut pileg ada 2019, otomatis gugur profesi kewartawanan kalau tidak mendaftar ulang. Pak Edy, harus ikut Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dengan syarat bernaung di media yang terverifikasi dan tersertifikasi Dewan Pers,” demikian Rusdy.(*/md)