Tiga Perempuan Tangguh Relawan Covid-19

Tiga Perempuan Tangguh Relawan Covid-19
Relawan sopir ambulan RS Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, Ika Dewi Maharani. (ANTARA/Satgas COVID-19)

Ika Dewi Maharani, Hana Krismawati dan dokter Debryna Dewi Lumanauw melewati perjuangan yang berbeda selama terjun sebagai relawan untuk membantu menanggulangi krisis pandemi COVID-19 di Indonesia.

Ika menjadi supir ambulans yang mengangkut pasien COVID-19, Hana sibuk di laboratorium untuk tes sampel COVID-19 dan Debryna jadi dokter perempuan pertama di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran.

Keinginan untuk membantu sesama adalah benang merah yang menyatukan mereka.

Dalam webinar "Solidaritas Tanpa Batas", Kamis (19/8/2021), ketiganya saling berbagi cerita mengenai apa yang telah mereka lakukan sejak pandemi melanda dunia.

Ika yang sekarang menjadi perawat menuturkan pembatasan wilayah terjadi ketika dia mulai kuliah. Di tengah kegiatan belajar dan mengajar dilakukan secara daring, dia merasa tidak bisa tinggal diam sebagai tenaga kesehatan karena ada keingian untuk menolong dan melayani masyarakat.

Keputusan menjadi supir ambulans untuk pasien COVID-19 dengan gejala ringan dan sedang sempat ditentang orangtua, tapi niatnya sudah bulat.

Bukan hal mudah menjadi supir ambulans, apalagi dia harus mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak nyaman dan membuatnya sulit bergerak.

"Rasanya deg-degan, harus memastikan tidak boleh ada gap (di APD agar tidak terinfeksi)," kata Ika.

Setengah hari memakai APD membuat keringatnya mengucur deras, ditambah lagi tubuhnya yang kecil harus lihai mengemudi di kendaraan yang tidak dilengkapi power steering.

"Berat, butuh tenaga dan badanku kecil. Harus juga memakai hazmat dan google yang membuat badan susah bergerak," katanya.

Sementara itu, Hana Krismawati mengabdi di Papua sebagai bagian dari peneliti. Minatnya untuk meneliti dimulai sejak kecil karena banyak membaca buku-buku fiksi ilmiah. Profesi peneliti bukanlah profesi yang familier di keluarganya yang kebanyakan berdagang untuk mencari nafkah. Rasa penasaran terhadap dunia yang belum diketahui membuatnya memutuskan untuk jadi peneliti.

Memiliki latar belakang ilmu biologi, Hana yang bekerja di Balai Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Puslitbangkes) Papua merasakan tantangan besar ketika harus memerangi COVID-19 di ujung timur Indonesia.

Tantangan pertama memastikan semua sampel dan spesimen yang dikirimkan ke laboratorium dalam kondisi yang baik walau pengirimannya melewati medan geografi yang menantang. Ketersediaan peralatan mumpuni harus didapatkan dari pulau Jawa bahkan luar negeri, sementara dia harus menghadapi kebijakan penutupan bandara di Papua demi mencegah penyebaran virus.

Dia menuturkan, sehari sebelum bandara ditutup, dia terbang ke Jakarta untuk mencari barang-barang yang diperlukan dalam bekerja, termasuk APD.

"Saya harap pandemi jadi momen bagi pemerintah untuk membuat terobosan di semua aspek, momen memperkuat sektor riset dan teknologi karena riset dan teknologi yang tangguh bisa memudahkan kita saat menghadapi krisis."

Cerita lain datang dari Debryna yang tergabung sebagai dokter di rumah sakit Wisma Atlet Kemayoran. Tak pernah terbayang olehnya harus bekerja menggunakan APD dalam merawat pasien agar tidak terinfeksi virus yang membuat kehidupan di dunia berubah selama 1,5 tahun terakhir. "Saat kuliah kita tidak pernah kita diajari dan diberitahu 'nanti siap-siap ada pandemi'," seloroh dia.

Tenaga kesehatan yang jadi bagian dari tenaga medis Badan SAR Nasional menuturkan pengalaman menarik selama berhadapan dengan pasien COVID-19.

Debryna yang biasanya berada di tengah situasi bencana yang genting melihat ada perbedaan mencolok dari pasien-pasien COVID-19.

Ketika merawat pasien-pasien bencana, para korban yang dilanda musibah secara tiba-tiba pada umumnya merasa kalut dan dirundung kesedihan. Namun, pasien-pasien COVID-19 yang ia hadapi justru penuh semangat untuk kembali pulih seperti sediakala.

"Pasiennya justru lebih semangat dari saya," tutur dia.

Semangat itu timbul karena pasien-pasien COVID-19 pada umumnya sudah "siap" karena informasi mengenai virus ini telah disosialisasikan sejak lama, sehingga setidaknya mereka tahu apa yang dihadapi dan bagaimana penanganannya.

Setelah 1,5 tahun mengabdi untuk menangani COVID-19 di Jakarta, dia memutuskan untuk pergi ke Flores dan merawat pasien-pasien di sana. Keinginannya untuk mengabdi di luar Jakarta didorong dari pengalamannya bekerja di berbagai daerah dan menemukan fakta bahwa fasilitas kesehatan di sana tidak sebagus dan selengkap di ibu kota.

"Saya mikir, kalau di Jakarta (COVID-19) saja begini, bagaimana yang di daerah?" katanya.

Menjadi dokter yang berkutat di kebencanaan merupakan panggilan hati yang memberinya. Kesibukan yang dia lakukan tidak terasa seperti pekerjaan, semuanya dinikmati dan terasa mengalir begitu saja. Semangat yang sama dirasakan ketika dia bertemu dengan tenaga kesehatan dari TNI dan Polri, katanya.

Dia berharap pemerintah bisa memperhatikan seluruh daerah di Indonesia agar akses kesehatan merata hingga ke tempat yang terpencil. Dia juga berpesan agar biaya tes usap PCR yang diturunkan untuk meningkatkan pelaksanaan testing tidak melonjak di luar Jakarta karena alasan logistik.

Plt. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari mengapresiasi dan berterimakasih atas jasa para tenaga kesehatan yang bekerja selama pandemi. Dia yakin para tenaga kesehatan yang sudah sejak tahun lalu bekerja sangat keras untuk memerangi COVID-19 punya kemampuan bertahan dan beradaptasi yang mumpuni dengan berbagai situasi di masa mendatang.

"Generasi 2020-2021 saya yakin adalah generasi luar biasa," puji dia.(Nanien Yuniar/ANTARA)